KISAH SANG GUBERNUR DAN KEPONAKAN
Ketika
Iyyadh bin Ghanam diangkat sebagai gubernur oleh khalifah Umar bin
Al-Khaththab, datanglah lima orang sanak keluarganya untuk meminta disambungkan
tali silaturahmi mereka. Beliaupun menyambut mereka dengan wajah ceria,
melayani mereka dan menghormati mereka. Mereka semua tinggal berhari-hari di
rumahnya.
Setelah
itu mereka mengajaknya berbicara tentang hubungan mereka. Mereka juga
mengabarkan berbagai kesulitan yang mereka dapatkan di perjalanan demi
keinginan untuk menyambung silaturahmi dengan beliau. Dalam hati beliau
memahami maksud mereka. Beliau lalu memberikan kepada mereka masing-masing
sepuluh dinar. Namun ternyata mereka menolak, bahkan marah dan mencaci beliau.
Beliau
lalu berkata, “Wahai keponakan-keponakanku, aku tidak mengingkari hubungan
kekerabatan kalian denganku, hak kalian, serta kesulitan yang kalian dapatkan
di perjalanan. Akan tetapi demi Allah, aku hanya dapat memberikan apa yang
kalian terima tadi, itupun dengan menjual budakku dan menjual semua barang yang
tak begitu kubutuhkan. Maafkanlah aku.”
Mereka
menjawab, “Demi Allah, Allah tidak akan memaafkanmu. Bukankah engkau telah
memiliki separuh negeri Syam, tetapi engkau hanya memberikan kepada kami uang
yang hanya cukup -- itupun dengan susah payah-- untuk mengembalikan diri kami
masing-masing ke tengah keluarga.”
Beliau
balik bertanya, “Apakah kalian menginginkan aku untuk mencuri harta Allah?
Demi Allah, bila aku digergaji hingga terbelah, itu lebih aku sukai daripada
melakukan korupsi meski hanya sepeser, atau menggunakannya tidak pada
tempatnya.”
Mereka
menanggapi , “Baiklah, aku memaklumi itu. Tapi berilah kami pekerjaan
sehingga kami bisa melakukan seperti yang dilakukan orang lain, dan memperoleh
gaji sebagaimana yang mereka peroleh.”
Beliau
menjawab, “Demi Allah, aku mengetahui keutamaan dan kebaikan kalian. Tetapi
bagaimana bila terdengar oleh khalifah Umar bahwa aku mempekerjakan orang-orang
dari kerabatku sendiri, bukankah beliau akan mencela diriku?”
Mereka
berkata, “Abu Ubaidah jug a telah mempekerjakan dirimu, padahal antara
engkau dengannya juga ada hubungan kekerabatan, ternyata Umar membolehkan. Bila
engkau mempekerjakan kami, pasti beliau juga akan mengijinkan.”
Beliau
menjawab, “Akan tetapi di mata Umar, aku bukanlah seperti Abu Ubaidah.”
Akhirnya
merekapun pergi dengan kesal.
Read more: “akhlak al-karimah, edisi 02”