Kamis, 10 Januari 2013


0

KISAH SANG GUBERNUR DAN KEPONAKAN
Ketika Iyyadh bin Ghanam diangkat sebagai gubernur oleh khalifah Umar bin Al-Khaththab, datanglah lima orang sanak keluarganya untuk meminta disambungkan tali silaturahmi mereka. Beliaupun menyambut mereka dengan wajah ceria, melayani mereka dan menghormati mereka. Mereka semua tinggal berhari-hari di rumahnya.
Setelah itu mereka mengajaknya berbicara tentang hubungan mereka. Mereka juga mengabarkan berbagai kesulitan yang mereka dapatkan di perjalanan demi keinginan untuk menyambung silaturahmi dengan beliau. Dalam hati beliau memahami maksud mereka. Beliau lalu memberikan kepada mereka masing-masing sepuluh dinar. Namun ternyata mereka menolak, bahkan marah dan mencaci beliau.
Beliau lalu berkata, “Wahai keponakan-keponakanku, aku tidak mengingkari hubungan kekerabatan kalian denganku, hak kalian, serta kesulitan yang kalian dapatkan di perjalanan. Akan tetapi demi Allah, aku hanya dapat memberikan apa yang kalian terima tadi, itupun dengan menjual budakku dan menjual semua barang yang tak begitu kubutuhkan. Maafkanlah aku.”
Mereka menjawab, “Demi Allah, Allah tidak akan memaafkanmu. Bukankah engkau telah memiliki separuh negeri Syam, tetapi engkau hanya memberikan kepada kami uang yang hanya cukup -- itupun dengan susah payah-- untuk mengembalikan diri kami masing-masing ke tengah keluarga.”
Beliau balik bertanya, “Apakah kalian menginginkan aku untuk mencuri harta Allah? Demi Allah, bila aku digergaji hingga terbelah, itu lebih aku sukai daripada melakukan korupsi meski hanya sepeser, atau menggunakannya tidak pada tempatnya.”
Mereka menanggapi , “Baiklah, aku memaklumi itu. Tapi berilah kami pekerjaan sehingga kami bisa melakukan seperti yang dilakukan orang lain, dan memperoleh gaji sebagaimana yang mereka peroleh.”
Beliau menjawab, “Demi Allah, aku mengetahui keutamaan dan kebaikan kalian. Tetapi bagaimana bila terdengar oleh khalifah Umar bahwa aku mempekerjakan orang-orang dari kerabatku sendiri, bukankah beliau akan mencela diriku?”
Mereka berkata, “Abu Ubaidah jug a telah mempekerjakan dirimu, padahal antara engkau dengannya juga ada hubungan kekerabatan, ternyata Umar membolehkan. Bila engkau mempekerjakan kami, pasti beliau juga akan mengijinkan.”
Beliau menjawab, “Akan tetapi di mata Umar, aku bukanlah seperti Abu Ubaidah.”
Akhirnya merekapun pergi dengan kesal.
Read more: “akhlak al-karimah, edisi 02

0 komentar:

Posting Komentar